Kamis, September 5

PRESENTASI DIRI

A. Definisi Presentasi Diri    

Pada dasarnya, setiap orang memiliki langkah-langkah khusus dalam mempresentasikan dirinya kepada orang lain. 

Dalam karyanya berjudul The Presentation of Self in Everyday Life, Erving Goffman (1959) menyatakan bahwa, individu mempresentasikan dirinya secara verbal maupun non-verbal kepada orang lain yang berinteraksi dengannya. Self-presentation (presentasi diri) mengacu pada keinginan untuk menunjukkan image yang diinginkan kepada khalayak.

Presentasi diri atau sering juga disebut manajemen impresi (impression management), merupakan sebuah tindakan menampilkan diri yang dilakukan oleh setiap individu untuk mencapai sebuah citra diri yang diharapkan. Presentasi diri yang dilakukan ini bisa dilakukan oleh individu atau bisa juga dilakukan oleh kelompok individu/tim/organisasi (Boyer, dkk, 2006:4).

Seorang cameraman yang handal akan berusaha sebaik mungkin untuk bisa mengambil gambar dengan angle terbaik, moment yang tepat, dan kualitas gambar yang baik untuk menjaga kompetensinya. Seorang yang bekerja di bidang Public Relations akan berupaya sebaik mungkin untuk mempresentasikan dirinya sesuai dengan budaya perusahaannya. Untuk menjadi teman yang baik, seseorang akan berupaya untuk berusaha mempresentasikan dirinya dengan cara yang sesuai dengan harapan teman-temannya. Untuk menjamin kompetensinya, seorang photographer akan berupaya untuk menampilan karya-karya terbaiknya kepada orang lain. Dengan berbagai tujuan, setiap individu akan berupaya untuk mengkonstruksi dirinya dengan cara yang sesuai dengan karakteristiknya.

Jadi presentasi diri dapat disimpulkan dalam artian upaya menciptakan kesan khusus pada orang lain. Biasanya kesan yang diharapkan berupa kesan yang positif. Misalnya terkesan cerdas, terkesan mampu, terkesan menarik, terkesan baik hati, terkesan murah hati, dan sebagainya.

Ada dua motif utama yang mengatur presentasi diri, yaitu instrumental dan ekspresif

1. Motif instrumental, yaitu keinginan mempengaruhi orang lain dan mendapatkan penghargaan (Schlenker, 1980).

2. Motif ekspresif. Individu membangun sebuah citra diri untuk mengklaim identitas pribadi, dan menampilkan diri dengan cara yang konsisten dengan citra tersebut.

B. Strategi dalam Presentasi Diri

Terdapat beragam bentuk strategi dalam presentasi diri yang biasa dilakukan orang. Beberapa diantaranya adalah:

1. Menyenangkan penonton (audience pleasing).
Ini adalah perilaku yang dirancang untuk membuat penonton merasa senang. Misalnya membuat lawakan atau guyonan. Untuk membuat kesan bahwa diri kita adalah orang yang menyenangkan.

2. Konstruksi diri (self construction).
Ini adalah presentasi diri yang dimaksudkan untuk membenarkan pandangan kita terhadap diri kita sendiri. Jika kita berpandangan bahwa diri kita baik hati, kita akan berbuat kebaikan, seperti membantu anak terlantar, agar mendapat kesan bahwa kita memang memiliki sifat seperti itu.

3. Ingratiasi (ingratiation).
Ini adalah usaha yang disengaja untuk menciptakan kesan baik. Banyak orang berupaya melakukan ini. Dorongan berbuat baik karena ingin memperoleh pujian. Misalnya menyumbang jumlah besar pada orang susah, membantu kaum miskin, sampai memberikan uang pada pengemis hanya untuk dianggap dermawan.

4. Promosi diri.
Ketika tujuan seseorang adalah supaya terlihat kompeten atau ahli pada tugas tertentu, strategi promosi diri biasanya digunakan. Orang yang menggunakan strategi ini akan menggambarkan kekuatan-kekuatan dan berusaha untuk memberi kesan dengan prestasi mereka. Melebih-lebihkan tentang kemampuan diri dapat beresiko mereka dianggap sombong, dan tidak dapat dipercaya. Jadi strategi ini adalah tindakan yang dirancang untuk membuat seseorang tampak lebih kompeten. Biasanya para pencari kerja berusaha melakukan promosi diri pada saat wawancara kerja.

5. Intimidasi (Intimidation).
Ini adalah strategi presentasi diri dimana individu mengkomunikasikan suatu kemampuan dan kecenderungan yang menyebabkan orang lain menghasilkan sesuatu yang negatif. Misalnya pamer kekayaan untuk membuat seseorang merasa rendah diri.

6. Eksemplifikasi (exemplification).
Orang yang menggunakan strategi ini berusaha memproyeksikan penghargaannya pada kejujuran dan moralitas. Biasanya mereka mempresentasikan dirinya sebagai orang yang jujur, disiplin dan baik hati atau dermawan. Kadang-kadang penampilan yang ditunjukkan ini memang keadaan yang sebenarnya, namun yang sering pengguna strategi ini lakukan adalah berusaha memanipulasi dan tidak tulus hati dalam melakukannya.

7. Suplikasi (supplication).
Strategi ini dilakukan dengan memperlihatkan kelemahan atau ketergantungan untuk mendapatkan pertolongan atau simpati.

8. Hambatan diri (self-handicapping).
Strategi ini digunakan ketika individu merasa egonya terancam karena terlihat tidak mampu. Ketika seseorang merasa khawatir tentang kesuksesannya dan takut gagal dalam melaksanakan tugas, maka mereka akan berpura-pura mendapatkan suatu hambatan sebelum atau selama kejadian-kejadian yang mengancam egonya. Ini dilakukan dalam rangka melindungi agar egonya tidak hancur sehingga harga dirinya menurun.

9. Alignig actions
Usaha-usaha individu untuk mendefinisikan perilaku mereka yang nampaknya diragukan karena sebenarnya bertentangan dengan norma-norma budaya. Cara-cara yang pada umumnya dilakukan adalah dengan taktik disclaimers (penyangkalan) yaitu pernyataan secara verbal dengan niat/tujuan menyangkal implikasi negatif dan tindakan-tindakan yang akan datang dengan mendefinisikan tindakan-tindakan ini tidak relevan dengan identitas sosial yang telah mereka miliki. Misalnya ucapan 

“Saya tahu saya akan melanggar peraturan, tetapi" atau “Mungkin ini gila bagimu, tetapi“. 

Selain itu dapat pula digunakan taktik accounts (alasan-alasan) yaitu penjelasan-­penjelasan yang ditawarkan seseorang untuk mengurangi tanggung jawab setelah menampilkan tindakan-tindakan yang dapat mengancam identitas sosialnya. Ada dua tipe accounts yaitu meminta maaf dan justifikasi seperti, “Saya memang memukulnya, tetapi ia memukul saya lebih dulu”.

10. Altercasting
Taktik untuk memaksakan peran dan identitas pada orang lain. Melalui straregi altercasting, manusia menempatkan orang lain dalam identitas situasi dan peran yang menguntungkan dirinya. Pada umumnya altercasting melibatkan perlakuan terhadap orang lain seolah-olah mereka telah merniliki identitas dan peran yang ingin dipaksakan/bebankan. Contohnya, seorang guru yang berkata “Saya tahu kamu dapat melakukan lebih baik daripada ini”. Ucapan ini menekan murid untuk menikmati suatu identitas kompetensi yang dipaksakan pada mereka.

C. Pengelolaan kesan dalam Presentasi Diri

Dalam proses presentasi diri biasanya individu akan melakukan pengelolaan kesan (impression management). Pada saat ini, individu melakukan suatu proses dimana dia akan menyeleksi dan mengontrol perilaku mereka sesuai dengan situasi dimana perilaku itu dihadirkan serta memproyeksikan pada orang lain suatu image yang diinginkannya. Manusia melakukan hal tersebut, karena ingin orang lain menyukainya, ingin mempengaruhi mereka, ingin memperbaiki posisi, memelihara stasus dan sebagainya.

Dengan demikian presentasi diri atau pengelolaan kesan dibatasi dalam pengertian menghadirkan diri sendiri dalam cara-cara yang sudah diperhitungkan untuk memperoleh penerimaan atau persetujuan orang lain.


    Goffman mengajukan syarat-syarat yang perlu dipenuhi bila individu mengelola kesan secara baik, yaitu:
  • Penampilan muka (proper front)

Yakni perilaku tertentu yang diekspresikan secara khusus agar orang lain mengetahui dengan jelas peran si pelaku. Front ini terdiri dan peralatan lengkap yang kita gunakan untuk menampilkan diri.

  • Keterlibatan dalam perannya.

Hal yang mutlak adalah aktor sepenuhnya terlibat dalam perannya. Dengan keterlibatannya secara penuh akan menolong dirinya untuk sungguh-sungguh meyakini perannya dan bisa menghayati peran yang dilakukannya secara total.

  • Mewujudkan idealiasasi harapan orang lain tentang perannya.

Misalnya seorang dokter harus mengetahui tipe perilaku apa yang diharapkan dan orang-orang pada umumnya mengenai perannya, dan memanfaatkan pengetahuan ini untuk diperhitungkan dalam penampilannya. Kadang-kadang untuk memenuhi harapan orang pada umumnya, dia harus melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu. Misalnya, seorang dokter yang ahli dan sudah berpengalaman sebenarnya dia dapat mendiagnosa penyakit pasiennya hanya dengan menatap sekilas pada warna kulit atau pupil matanya. Jika dia melakukan hal ini sebelum menuliskan resep obat yang cocok, maka pasien mungkin merasa dibohongi. Untuk menghindari masalah ini, maka dokter itu akan melengkapi pemeriksaan dengan stethoscope, thermometer, dll. Meskipun hal tersebut sesungguhnya tak diperlukan untuk membuat diagnosa.

  • Mystification
Akhirnya Goffman mencatat bahwa bagi kebanyakan peran performance yang baik menuntut pemeliharaan jarak sosial tertentu diantara aktor dan orang lain. Misalnya seorang dokter harus memelihara jarak yang sesuai dengan pasiennya, dia tak boleh terlalu kenal /akrab, supaya dia tetap menyadari perannya dan tidak hilang dalam proses tersebut.

Motivasi untuk mengelola kesan biasanya sering terjadi dalam situasi yang melibatkan tujuan-tujuan penting seperti persahabatan, persetujuan, imbalan materi, dimana individu yang melakukannya merasa kurang puas dengan image yang diproyeksikan saat ini (self-discrepancy). Motivasi mengelola kesan juga lebih kuat ketika seseorang merasa tergantung pada seseorang yang berkuasa misalnya atasan/boss atau setelah dia mengalami kegagalan. 

D. Gaya Presentasi diri Self-Monitoring (Pemantauan Diri)

Setiap orang akan berbeda dalam cara mempresentasikan diri mereka. Beberapa orang lebih menyadari tentang kesan publik mereka, beberapa orang mungkin lebih menggunakan persentasi diri yang strategik, sementara yang lain lebih menyukai pembenaran diri (verifikasi diri).

Menurut Mark Snyder (1987), perbedaan ini berkaitan dengan suatu ciri sifat kepribadian yang disebut dengan self-monitoring yaitu kecenderungan mengatur perilaku untuk menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutaan situasi sosial. Dengan demikian, self-monitoring adalah kecenderungan untuk merubah perilaku dalam merespon terhadap presentasi diri yang dipusatkan pada situasi (Brehm & Kassin, 1993).

Individu yang memiliki self-monitoring yang tinggi, menitikberatkan pada apa yang layak secara sosial dan menaruh perhatian pada bagaimana orang berperilaku dalam setting sosial. Mereka menggunakan informasi ini sebagai pedoman tingkah laku mereka. Perilaku mereka lebih ditentukan oleh kecocokan dengan situasi daripada sikap dan perasaan mereka yang sebenarnya. Mereka cakap dalam merasakan keinginan dan harapan orang lain, terampil atau ahli dalam mempresentasikan beberapa perilaku dalam situasi-situasi berbeda dan dapat merubah cara-cara presentasi diri atau memodifikasi perilaku-perilaku untuk menyesuaikan dengan harapan orang lain.

Sebaliknya individu yang termasuk rendah dalam pemantauan diri, cenderung lebih menaruh perhatian pada perasaan mereka sendiri dan kurang menaruh perhatian pada isyarat-isyarat situasi yang dapat menunjukkan apakah perilaku mereka sudah layak.

E. Media Sosial dan Presentasi Diri

Jones (1990) menyatakan rangkuman dari lima strategi dalam konstruksi presentasi diri yang diperoleh dari eksperimen terhadap situasi interpersonal dalam media sosial:

Ingratiation

Tujuan pengguna strategi ini adalah agar ia disukai oleh orang lain. Beberapa karakteristik umum yang dimiliki adalah mengatakan hal positif tentang orang lain atau mengatakan sedikit hal-hal negatif tentang diri sendiri, untuk menyatakan kesederhanaan, keakraban dan humor. Dalam konteks media sosial, strategi jenis ini bisa dilihat secara jelas dengan memberikan apresiasi terhadap foto- foto pengguna lainnya. Bisa juga dengan berbalas-balasan status ataupun tweets.

Competence

Tujuan dari strategi ini agar dianggap terampil dan berkualitas. Karakteristik umum meliputi pengakuan tentang kemampuan, prestasi, kinerja, dan kualifikasi. Beberapa pengguna media sosial dengan profesi tertentu seperti analis politik akan menggunakan akun media sosialnya untuk memberikan tanggapan mengenai kondisi politik saat ini. Tentu akan diupayakan untuk menunjukkan kompetensinya. Begitu pula dalam media sosial yang fokus ke arah karya seni. Pengguna akan berupaya sebaik mungkin untuk menampilkan karya-karya terbaik di dalam media sosialnya.


Intimidation

Pengguna strategi ini bertujuan untuk memperoleh kekuasaan. Karakteristik umum yang dimiliki adalah ancaman, pernyataan kemarahan, dan kemungkinan ketidaksenangan. Tentunya strategi ini bisa dilihat dengan mudah jika membaca akunakun media sosial pengguna yang mengekspresikan rasa tidak suka atau tidak setuju dengan sangat ekspresif. Bahkan kadang-kadang memberikan kata-kata tertentu yang karakter-karakter nya diganti dengan tanda “*”.

Exemplification

Tujuan dari strategi ini agar dianggap secara moral lebih unggul atau memiliki standar moral yang lebih tinggi. Karakter umumnya adalah komitmen ideologis atau militansi, pengorbanan diri, dan kedisiplinan diri. Dalam media sosial umumnya ini akan dilihat dengan menampilkan foto atau gambar-gambar bersifat nasionalis, atau menggambarkan ideologi tertentu. Pengguna bisa juga memanfaatkan strategi ini dengan memberikan komentar-komentar terkait pemberantasan korupsi, mafia hukum, dll.

Supplication

Tujuannya adalah merawat atau tampak tidak berdaya sehingga orang lain akan datang untuk membantu orang tersebut. Karakter dari pendekatan presentasi diri termasuk memohon bantuan dan rendah diri. Strategi ini bisa terlihat dalam riwayat status atau tweets (Timeline). Pengguna terkadang menulis: “apa lagi cobaan yang akan datang”, “saya sudah tidak sanggup lagi”, dan beberapa tulisan lain yang mengarah pada menunjukkan dirinya sedang tidak berdaya atau dalam kondisi yang kurang bagus.

Strategi-strategi yang ada ini bisa dipakai oleh pengguna dalam memodifikasi akun media sosialnya. Implementasi dari masing-masing strategi ini akan bergantung pada kehendak pengguna memodifikasi media sosial yang dimilikinya.

REFERENSI:

http://kuliahpsikologi.dekrizky.com/cara-presentasi-diri
http://tesisterbaik.blogspot.com/2011/03/contoh-bab-3-tesis-strategi-presentasi.html
Goffman, Erving. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. Garden City, N.Y.:
Doubleday, 1959.
http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/presentasi-diri.html
http://nadhirin.blogspot.com/2010/04/gaya-presentasi-diri-self-monitoring.html