Senin, September 3

TEORI INTERAKSI SIMBOLIK, DRAMATISME DAN NARATIF


PEMBAHASAN

2.1 TEORI INTERAKSI SIMBOLIK

Interaksi simbolik berfokus kepada interaksi antar manusia dan berusaha mamahami bagaimana individu menafsirkan bahasa dan perilaku orang lain, bagaimana orang-orang memberikan makna bagi pemikiran dan tindakan mereka sendiri dan mengorganisasikan ketika berinteraksi dan bernegosiasi dengan orang lain. Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).

Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis” (Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.

Tokoh-tokoh teori ini antara lain Goerge Herbert Mead, C.H chooley, W.I thomas, Peter L. Berger, Erving Goffman, Harbert Blummer. Teori ini mengatakan bahwa manusia berinteraksi satu sama lain tidak secara langsung, melainkan melalui simbol-simbol. Teori ini menitik beratkan perhatiannya kepada interaksi antar individu. Menurut teori ini konsep tentang masayarakat, lembaga sosial, maupun negara hanyalah konseptual saja dalam arti istilah akademik. Hal yang penting adalah antara individu dan lingkungan tempat mereka berbeda.

Karakteristik dasar teori ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan “simbol”. Simbol-simbol ini sebagian besar adalah kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Kata tidak lain hanyalah sekedar bunyi dan belum mempunyai arti tertentu yang melekat pada kata itu sendiri. Kata atau bunyi tertentu baru memiliki arti setelah masyarakat sepakat memberi arti kata atau bunyi tersebut. Bunyi dan penulisannya sama tetapi berbeda pada masyarakat yang berbeda dalam mengartikan maknanya.

Pendekatan interaksi simbolik yang dimaksud Blumer mengacu pada tiga premis
utama, yaitu: Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka, makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan oleh orang lain, makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung (Kuswarno, 2008: 22). 

Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.

Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:
(1)   Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain,


(2)   Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya, dan

(3)   Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.”Mind, Self and Society” merupakan karya George Harbert Mead yang paling terkenal (Mead. 1934 dalam West-Turner. 2008: 96), dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik.


2.2 TEORI DRAMATISME

Dramatisme, mengkonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah drama dengan menempatkan suatu fokus kritik pada adegan yang diperlihatkan oleh berbagai pemain. Adegan ini penting dalam menyikapi motivasi manusia. Dramatisme memberi kita sebuah metode yang sesuai untuk membahas tindakan. Komunikasi dengan teks, khalayak untuk teks, dan tindakan di dalam teks itu sendiri. Dramatisme Burke memungkinkan kita untuk menganalisis pilihan retoris publik figur dan respon khalayak mengenai pilihan tersebut.

Drama adalah metafora yang berguna bagi ide-ide Burke untuk tiga alasan, yakni:
  1. Drama mengindikasikan cakupan yang luas.
Tujuannya adalah untuk berteori mengenai keseluruhan pengalaman manusia. Metafora dramatis khususnya berguna dalam menggambarkan hubungan manusia karena didasarkan pada interaksi atau dialog.
  1. Drama cenderung untuk mengikuti tipe-tipe yang mudah dikenali.
  2. Drama selalu ditujukan kepada khalayak dan bersifat retoris.
Burke memandang sastra sebagai “peralatan untuk hidup”, artinya bahwa teks berbicara pada pengalaman hidup orang dan masalah serta memberikan orang reaksi untuk menghadapi pengalaman ini. Dengan demikian, kajian dramatisme mempelajari cara-cara dimana bahasa dan penggunaanya berhubungan dengan khalayak.

Asumsi Teori Dramatisme

Pemikiran Kenneth Burke begitu rumit sehingga sulit untuk mereduksinya menjadi seperangkat asumsi. Namun, melalui komentar Brumment kita mendapatkan tiga gambaran mengenai asumsi teori dramatisme Burke.

- Manusia adalah hewan yang menggunakan simbol.
Burke berpendapat bahwa beberapa hal yang kita lakukan dimotivasi oleh naluri hewan yang ada dalam diri kita dan beberapa hal lainnya dimotivasi oleh simbol-simbol. Contohnya, ketika kita meminum kopi di pagi hari sambil membaca koran. Minum kopi merupakan bentuk naluri hewan dan membaca surat kabar serta memikirkan ide-ide dipengaruhi oleh simbol. Dari semua simbol yang digunakan manusia, bahasa adalah yang paling penting bagi Burke.

- Bahasa dan simbol membentuk sebuah sistem yang sangat penting bagi manusia.
Bagi Burke, ketika orang menggunakan bahasa, mereka juga digunakan oleh bahasa tersebut. Selain itu, ketika bahasa dari suatu budaya tidak mempunyai simbol untuk motif tertentu, maka pembicara yang menggunakan bahasa tersebut juga cenderung untuk tidak memiliki motif tersebut. Burke mengatakan bahwa simbol membentuk pendekatan hanya terhadap masalah yang kompleks. Selain itu, kata-kata, pemikiran, dan tindakan memiliki hubungan yang saling berkaitan.

- Manusia adalah pembuat pilihan.
Burke mengatakan ontologi eterministik behaviorisme harus ditolak karena bertentangan dengan dasar utama dramatisme, yakni pilihan manusia. Hal ini terikat pada konseptualisasi akan agensi atau kemampuan aktor sosial untuk bertindak sebagai hasil dari pilihannya.

Dramatisme sebagai Retorika Baru

Dalam bukunya A Rhetoric of Motives, Burke menyatakan retorika adalah persuasi dan tulisannya mengungkapkan cara-cara dimana persuasi dapat terjadi. Jadi retorika baru yang ia tawarkan terfokus pada beberapa isu penting, yang salah satunya ialah identifikasi. Berbeda dengan retorika lama yang persuasi dan menekankan pada desain yang terencana.

- Identifikasi dan substansi
Burke, menyatakan bahwa segala sesuatu mempunyai substansi, yang ia definisikan sebagai sifat umum dari sesuatu. Substansi dapat digambarkan dalam diri seseorang dengan mendaftarkan karakteristik demografis serta latar belakang dan fakta mengenai situasi masa kini.
Burke beragumen bahwa ketika terdapat ketumpangtindihan antara dua orang dalam hal substansi mereka, mereka mempunyai identifikasi. Semakin besar ketumpangtindihan yang terjadi, makin besar identifikasi yang terjadi. Demikian sebalikannya, semakin kecil tingkat ketumpangtindihan individu, makin besar pemisahan yang ada diantara mereka.
Walaupun demikian, pada kenyataannya dua orang tidak dapat sepenuhnya memiliki ketumpangtindihan satu dengan yang lainnya. Burke sadar akan hal ini dan menyatakan bahwa “ambiguitas substansi” menyatakan bahwa identifikasi akan selalu terletak pada kesatuan dan pemisahan. Para individu akan bersatu pada masalah-masalah substansi tertentu tetapi pada saat bersamaan tetap unik, keduanya “disatukan dan dipisahkan”. Selanjutnya, Burke mengindikasikan bahwa retorika dibutuhkan untuk menjembatani pemisahan dan membangun kesatuan.

- Proses Rasa Bersalah dan Penebusan
Konsubstansialitas, atau masalah mengenai identifikasi dan substansi, berhubungan dengan siklus rasa bersalah atau penebusan karena rasa bersalah dapat dihilangkan sebagai hasil identifikasi dan pemisahan. Bagi Burke, proses rasa bersalah dan penebusan mengamankan keseluruhan konsep simbolisasi. Rasa bersalah, adalah motif utama untuk semua aktifitas simbolik, dan Burke mendefinisikan rasa bersalah secara luas untuk mencakup berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa bersalah, jijik, atau perasaan tidak menyenangkan lainnya. Hal yang utama dalam teori Burke adalah bahwa rasa bersalah adalah sifat intrinsik yang ada dalam kondisi manusia. Karena kita terus menerus, merasa bersalah, kita juga terus berusaha untuk memurnikan diri kita sendiri dari ketidaknyamanan rasa bersalah.
Proses merasa bersalah dan berusaha untuk menghilangkannya ada di dalam siklus Burke yang mengikuti pola yang dapat diprediksi:

a.       Tatanan atau Hierarki
Burke menyatakan bahwa masyarakat ada dalam bentuk tatanan atau hierarki, yang diciptakan melalui kemampuan kita menggunakan bahasa. Bahasa memungkinkan kita untuk menciptakan kategori-kategori yang membentuk hierarki sosial.

b.      Negativitas
Negativitas mulai muncul ketika orang melihat tempat mereka dalam tatanan sosial dan berusaha menolaknya. Mengatakan tidak pada aturan yang sudah ada adalah fungsi dari kemampuan berbahasa kita dan bukti bahwa manusia adalah pembuat pilihan.

c.       Pengorbanan
Pengorbanan adalah cara dimana kita berusaha untuk memurnikan diri dari rasa bersalah yang kita rasakan sebagai bagian dari kondisi manusia. Terdapat dua tipe dasar pengorbanan. Burke menamai tipe pengorbanan yang kita kembalikan pada diri kita sendiri sebagai mortifikasi.

d.      Penebusan
Penebusan melibatkan penolakan sesuatu yang tidak bersih dan kembali pada tatanan baru setelah rasa bersalah diampuni sementara.

- Pentad
Burke menciptakan suatu metode untuk menerapkan teorinya terhadap sebuah pemahaman aktifitas simbolik yang disebut pentad, meliputi:
  1. Tindakan, yang dianggap Burke sebagai apa yang dilakukan oleh seseorang.
  2. Adegan, yang memberikan konteks yang meliputi tindakan.
  3. Agen, adalah seseorang yang melakukan tindakan.
  4. Agensi, merujuk pada cara-cara yang digunakan oleh agen untuk menyelesaikan tindakan. Bentuk-bentuk agensi yang mungkin mencakup strategi pesan, penceritaan kisah, permintaan maaf, pembuatan pidato, dan seterusnya.
  5. Tujuan, merujuk pada hasil akhir yang ada dalam benak agen untuk tindakan.
  6. Sikap, merujuk pada cara di mana seorang aktor memposisikan dirinya dibandingkan orang lain.
Konsep Kunci Dramatisme
  1. Substansi, sifat umum seseorang sebagaimana digambarkan oleh dirinya sendiri maupun orang lain.
  2. Identifikasi, keadaan di mana diantara dua orang terdapat ketumpangtindihan pada substansi masing-masing.
  3. Konsubstansiasi, usaha meningkatkan ketumpangtindihan satu sama lain dengan membuat permohonan retoritis
2.3 TEORI PARADIGMA NARATIF

Banyak orang mendefinisikan naratif sebagai suatu gaya bercerita. Naratif juga berasal dari kata narasi yaitu suatu cerita tentang peristiwa atau kejadian dengan adanya paragraf narasi yang disusun dengan merangkaikan peristiwa-peristiwa yang berurutan atau secara kronologis. Tujuannya, pembaca diharapkan seolah-olah mengalami sendiri peristiwa yang diceritakan.Cara yang dilakukan menggunakan kata- kata, juga dengan memperlihatkan maksud cerita melalui tarian, gambar, maupun musik. Serta juga dapat dibuat melalui TV / Film atau secara langsung dipertunjukkan lewat panggung (stage).

Seperti yang diungkapkan Walter Fisher bahwa cerita adalah rangkaian makna. Dengan naratif rangkaian cerita dapat bermakna karena juga bisa dihubungkan perubahan yang terjadi dalam personal naratif (pencerita dan yang mendapat cerita). Cerita – cerita dan personal dalam naratif, keduanya berada dalam pengalaman itu sendiri. Apakah peristiwa itu dikarang sendiri oleh hidup kita atau orang lain yang membantunya. Sampai kita sering dan familiar dengan kalimat “Suatu waktu”.

Jangkauan dari teori Naratif sendiri mencangkup macam – macam cabang ilmu pengetahuan dan akhirnya terangkum dalam Teori Komunikasi. Hal ini juga meliputi bagaimana pemahaman kita dalam menciptakan sebuah cerita dari pola – pola cerita yang belum tergabung. Penggunaan naratif ini sendiri bertujuan untuk memahami tingkah laku manusia. Pendekatan yang dilakukan yaitu melalui tiga kepentingan. Walter Fisher menyebut yang pertama adalah Narative Logic yang menggabungkan kesamaan naratif dan logika visual. Northrup Frye mencoba fokus pada bagaimana cerita berbicara melalui konten / isi, bagaimana mengatakannya yaitu dilihat dari bentuknya, serta memasukkan teori pemahaman perbedaan antara aturan pembuatan makna antara maksud dari cerita bergambar dengan gambar itu sendiri.

Dengan menggunakan kritikan sebagai alat untuk meletakkan dan menjelaskan gambar visual sintaksis dan struktur komposisionalnya dalam hubungan yang renggang.

Seymour Chatman’s mengatakan bahwa yang harus dilihat dalam teori naratif dalam pidato/ sebuah wacana adalah hubungan antara narrator dan naratee(reader) dan bagaimana bentuk pengekspresiannya. Dan hal ini dikembangkan ke lingkup yang lebih luas, yaitu dalam program TV, film, fotografi,dan website serta bagaimana bentuk kebudayaan ikut menyumbang dalam pembentukan makna itu sendiri.

Paradigma naratif
Fisher menyatakan bahwa esensi dari sifat dasar manusia adalah menceritakan kisah. Sehingga paradigma naratif mengemukakan keyakinan bahwa manusia adalah seorang pencerita dan bahwa pertimbangan akan nilai, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Core dari teori ini adalah komunikasi kepada publik – khalayak sebagi partisipan.Manusia lebih mudah terbujuk oleh sebuah cerita yang bagus daripada argument yang baik. Paradigm naratif mengkonsepkan bahwa manusia adalah pencerita dan manusia mengalami kehidupan dalam suatu bentuk narasi.
Fisher juga menyatakan bahwa  paradigma ini merujuk pada usaha untuk memformalisasi dan mengarahkan pemahaman kita mengenai pengalaman dari semua komunikasi manusia. Yang ia bandingkan dengan pendekatan lain dengan apa yang ia sebut sebagai paradigma rasional yang mengarakterisasi pemikiran Barat sebelumnya. Dengan cara ini, Fisher mempresentasikan apa yang dapat disebut sebagai pergeseran paradigma, perubahan signifikan dalam cara kebanyakan orang melihat dunia dan maknanya.

Logika naratif lebih dipilih dibandingkan logika tradisional yang digunakan dalam argumentasi. Logika narasi (logika dari pemikiran yang luas), menyatakan bahwa orang menilai kredibilitas pembicara melalui apakah ceritanya runtut (mempunyai koherensi) dan terdengar benar (mempunyai ketepatan). Paradigm naratif memungkinkan sebuah penilaian demokratis terhadap pembicara karena tidak ada seorang pun yang harus dilatih secara khusus agar mampu menarik kesimpulan berdasarkan konsep koherensi dan kebenaran.

Asumsi paradigma naratif

Asumsi paradigma naratif yang dinyatakan oleh Fisher bertolak belakang dengan paradigma dunia rasional. Hal ini menimbulkan perbedaan antara paradigma naratif dengan paradigma dunia rasional.
PARADIGMA NARATIF
PARADIGMA DUNIA RASIONAL
1.    Manusia adalah makhluk  pencerita.
1. Manusia adalah makhluk rasional.
2.    Pengambilan keputusan dan komunikasi didasarkan pada “pertimbangan yang sehat”.
2. Pengambilan keputusan didasarkan pada argumen.
3.    Pertimbangan yang sehat ditentukan oleh sejarah, biografi, budaya, dan karakter.
3. Argumen mengikuti kriteria khusus untuk mencapai pertimbangan yang sehat, logika.
4.    Rasionalitas didasarkan pada kesadaran orang tentang bagaimana sebuah cerita konsisten secara internal dan benar sebagaimana pengalaman hidup yang dijalani.
4. Rasionalitas didasarkan pada kualitas pengetahuan dan proses pemikiran formal.
5.    Dunia dialami oleh orang sebagai sebuah kumpulan cerita yang harus dipilih salah satunya. Ketika kita memilih, kita menjalani hidup dalam sebuah proses penciptaan ulang yang terus-menerus.
5. Dunia dapat direduksi menjadi sebuah rangkaian hubungan logis yang disingkap melalui pemikiran logis.
   
Penjelasan dari kelima asumsi tersebut adalah:

a. Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencerita
Fischer (1987) mengatakan bahwa manusia merupakan homo narrans sebagai metafora untuk menjelaskan kemanusiaan. Cerita merupakan hal mendasar dalam hidup yang mempengaruhi, menggerakkan, dan membentuk dasar keyakinan  dan tindakan kita. Dalam berkomunikasi dengan dengan pihak lain, manusia juga memposisikan dirinya sebagai pencerita tersebut. Fischer memunculkan asumsi demikian karena berdasar pengamatannya naratif bersifat universal, ditemukan dalam semua budaya dan periode waktu.
Dalam hal ini Elkins (dalam Turner, 2008) mengatakan bahwa manusia pada dasarnya menggunakan cerita dalam semua aspek kehidupan keseharian kita, untuk menghabiskan waktu, menyampaikan informasi, untuk menempatkan diri di sebuah tempat, keluarga, dan komunitas.

b. Keputusan mengenai harga dari sebuah cerita didasarkan pada “pertimvangan sehat”
Yang dimaksud pertimbangan yang sehat adalah individu membuat keputusan mengenai cerita mana yang akan diterima dan mana yang ditolak berdasarkan apa yang masuk akal bagi dirinya. Asumsi ini memberitahu kepada kita bahwa tidak semua cerita itu sama atau sebanding dalam hal efektivitasnya, sebaliknya faktor dalam pemilihan cerita di buat berdasarkan alasan-alasan yang bersifat personal disbanding daripada berdasarkan pmikiran yang logis.
Semua orang mempunyai kapasitas untuk menjadi rasional dalam paradigma narratif. Karena ukuran rasionalitas dalam paradigma narratif berbeda dengan ukuran rasionalitas tradisional yang mendasarkan pada logika formal. Setiap orang mengambil keputusan-keputusan hidup menganggap cara berfikirnya logis dan rasional menurut ukuran personal orang bersangkutan.

c. Pertimbangan yang sehat ditentukan oleh sejarah, biografi, budaya, dan karakter
Asumsi ini memperjelas bahwa ukuran rasionalitas manusia itu tidak sama satu sama lain. Masing-masing orang mempunyai ukuran dan jenis rasionalitasnya sendiri. Munculnya rasionalitas tertentu pada seseorang tergantung konteks di mana mereka terikat.

d. Rasionalitas didasarkan pada penilaian orang mengenai konsistensi dan kebenaran sebuah cerita. 
Orang akan mempercayai sebuah cerita selama cerita tersebut terlihat konsisten secara internal dan dapat dipercaya. Yang perlu digarisbawahi di sini bahwa rasionalitas yang dimaksud dalam paradigma narratif ini berbeda dengan rasionalitas tradisional. Sebuah cerita dikatakan runtut ketika pencerita tidak meninggalkan detail-detail yang penting atau mengkontradiksi elemen-eleman dalam cerita dengan cara apapun.
e. Kita mengalami dunia sebagai dunia yang diisi dengan cerita, dan kita harus memilih dari cerita yang ada, dan ketika kita memilih cerita-cerita tersebut, kita akan mengalami kehidupan secara berbeda, juga  memungkinkan untuk menciptakan ulang kehidupan kita.

Konsep kunci dalam pendekatan naratif

(1)   Narasi
Sebuah deskripsi yang oleh pendengar diberi makna. Narasi sering kali dianggap sebagai sekadar sebuah cerita, tetapi bagi Fisher narasi lebih dari sekadar cerita yang memiliki plot dengan awal, pertengahan, dan akhir. Narasi mencakup deskriptif verbal atau nonverbal apa pun dengan urutan kejadian yang oleh para pendengar diberi makna. Hal ini tentunya Fisher menunjuk bahwa Semua komunikasi adalah narrative (cerita). Dia beragumen bahwa narrative bukanlah gender tertentu tetapi lebih kepada cara dari pengaruh sosial.
(2)   Rasionalitas Naratif
Standar untuk menilai cerita mana yang dipercayai dan mana yang diabaikan. Karena kehidupan kita dialami dalam naratif, kita membutuhkan metode untuk menilai cerita mana yang kita percayai dan mana yang tidak kita perhatikan. Karena rasionalitas naratif berlawanan dengan logika tradisional, maka beroperasi berdasarkan dua prinsip yang berbeda:
      i.     Koherensi
Prinsip rasionalitas naratif yang menilai konsistensi internal dari sebuah cerita. Prinsip koherensi merupakan standar yang penting dalam menilai rasionalitas naratif, yang pada akhirnya akan menentukan apakah seseorang menerima naratif tertentu atau menolaknya. Koherensi sering kali diukur oleh elemen-elemen organisasional dan struktural dari sebuah naratif. Sehingga koherensi didasarkan pada tiga tipe konsistensi yang spesifik:
(a)    Koherensi Struktural, suatu jenis koherensi yang merujuk pada aliran cerita. Ketika cerita membingungkan, ketika satu bagian tidak tersambung dengan bagian berikutnya, atau ketika alurnya tidak jelas, maka cerita itu kekurangan koherensi struktural.
(b) Koherensi Material, jenis koherensi yang merujuk pada kongruensi antara satu cerita dan cerita lainnya yang berkaitan. Jika semua cerita kecuali satu menyatakan masalah bahwa seorang teman telah memberikan informasi yang keliru sehingga menimbulkan situasi yang memalukan bagi yang seorang lagi, Anda cenderung tidak akan memercayai satu cerita yang berbeda sendiri tersebut. Anda akan percaya bahwa cerita yang berbeda ini kekurangan koherensi material.
(c) Koherensi Karakterologis, jenis koherensi yang merujuk pada dapat dipercayanya karakter-karakter di dalam cerita.

                    ii.     Kebenaran
Prinsip rasionalitas naratif yang menilai kredibilitas dari sebuah cerita. Fisher menyatakan bahwa ketika elemen-elemen sebuah cerita “merepresentasikan pernyataan-pernyataan akurat mengenai realitas sosial”, elemen tersebut memiliki kebenaran.
Logika dari good reason berhubungan dengan ide Fisher akan ketepatan adalah metode utama yang ia kemukakan untuk menilai ketepatan naratif: logika pertimbangan yang sehat. Karena itu, logika bagi paradigma naratif membuat seseorang mampu menilai harga atau nilai dari cerita. Logika dari pertimbangan yang sehat, seperangkat nilai untuk menerima suatu cerita sebagai benar dan berharga untuk diterima; memberikan suatu metode untuk menilai kebenaran.
Seperti yang diprediksikan oleh paradigma naratif, logika bagi paradigma naratif membuat seseorang mampu menilai harga atau nilai dari cerita. Cerita yang dikisahkan dengan baik- terdiri atas rasionalitas naratif (memenuhi kriteria koherensi dan kebenaran)- akan lebih menggugah bagi pembaca dibandingkan dengan kesaksian dari para ahli yang menyangkal akurasi faktual di dalam naratif itu. 


West, Richard. 2008. Pengantar Teori Komunikasi – Teori dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.
Rohim, Syaiful.2009. Teori Komunikasi – Perspektif, Ragam, dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.
http://spiritofdina.blogspot.com/2010/06/nama-hikmah-hamidah-nim-108015000034.html
http://evamasy.blogspot.com/2011/05/makalah-teori-dramatisme-diajukan-untuk.html
Soeroso, Andreas. 2006. Sosiologi 1 SMA kelas X. Jakarta: Quadra
Pawito, 2007.Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta : Lkis
Daymon, Christine & Immi Holloway. 2008. Metode-Metode Riset Kualitatif. Yogyakarta: Bentang
Pustaka
http://www.scribd.com/doc/65393054/TEORI-NARATIF