PEMBAHASAN
2.1 TEORI INTERAKSI
SIMBOLIK
Interaksi simbolik berfokus kepada interaksi antar manusia dan berusaha mamahami bagaimana individu menafsirkan bahasa dan perilaku orang lain, bagaimana orang-orang memberikan makna bagi pemikiran dan tindakan mereka sendiri dan mengorganisasikan ketika berinteraksi dan bernegosiasi dengan orang lain. Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).
Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis” (Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.
Tokoh-tokoh teori ini antara lain Goerge Herbert Mead, C.H chooley, W.I thomas, Peter L. Berger, Erving Goffman, Harbert Blummer. Teori ini mengatakan bahwa manusia berinteraksi satu sama lain tidak secara langsung, melainkan melalui simbol-simbol. Teori ini menitik beratkan perhatiannya kepada interaksi antar individu. Menurut teori ini konsep tentang masayarakat, lembaga sosial, maupun negara hanyalah konseptual saja dalam arti istilah akademik. Hal yang penting adalah antara individu dan lingkungan tempat mereka berbeda.
Karakteristik dasar teori ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan “simbol”. Simbol-simbol ini sebagian besar adalah kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Kata tidak lain hanyalah sekedar bunyi dan belum mempunyai arti tertentu yang melekat pada kata itu sendiri. Kata atau bunyi tertentu baru memiliki arti setelah masyarakat sepakat memberi arti kata atau bunyi tersebut. Bunyi dan penulisannya sama tetapi berbeda pada masyarakat yang berbeda dalam mengartikan maknanya.
Pendekatan interaksi simbolik yang dimaksud Blumer mengacu pada tiga premis
utama, yaitu: Manusia bertindak terhadap
sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka, makna itu diperoleh dari hasil
interaksi sosial yang dilakukan oleh orang lain , makna-makna tersebut
disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung (Kuswarno,
2008: 22).
Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.
Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.
Definisi
singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:
(1)
Pikiran
(Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial
yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui
interaksi dengan individu lain,
(2)
Diri
(Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian
sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis
adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri
sendiri (the-self) dan dunia luarnya, dan
(3)
Masyarakat
(Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan
dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu
tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela,
yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di
tengah masyarakatnya.”Mind, Self and Society” merupakan karya George Harbert
Mead yang paling terkenal (Mead. 1934 dalam West-Turner. 2008: 96), dimana
dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang
dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik.
2.2
TEORI DRAMATISME
Dramatisme, mengkonseptualisasikan
kehidupan sebagai sebuah drama dengan menempatkan suatu fokus kritik pada
adegan yang diperlihatkan oleh berbagai pemain. Adegan ini penting dalam
menyikapi motivasi manusia. Dramatisme memberi kita sebuah metode yang sesuai untuk
membahas tindakan. Komunikasi dengan teks, khalayak untuk teks, dan tindakan di
dalam teks itu sendiri. Dramatisme Burke memungkinkan kita untuk menganalisis
pilihan retoris publik figur dan respon khalayak mengenai pilihan tersebut.
Drama adalah metafora yang berguna
bagi ide-ide Burke untuk tiga alasan, yakni:
- Drama mengindikasikan cakupan yang luas.
Tujuannya adalah untuk berteori
mengenai keseluruhan pengalaman manusia. Metafora dramatis khususnya berguna
dalam menggambarkan hubungan manusia karena didasarkan pada interaksi atau
dialog.
- Drama cenderung untuk mengikuti tipe-tipe yang mudah
dikenali.
- Drama selalu ditujukan kepada khalayak dan bersifat
retoris.
Burke memandang sastra sebagai
“peralatan untuk hidup”, artinya bahwa teks berbicara pada pengalaman hidup
orang dan masalah serta memberikan orang reaksi untuk menghadapi pengalaman
ini. Dengan demikian, kajian dramatisme mempelajari cara-cara dimana bahasa dan
penggunaanya berhubungan dengan khalayak.
Asumsi
Teori Dramatisme
Pemikiran Kenneth Burke begitu rumit
sehingga sulit untuk mereduksinya menjadi seperangkat asumsi. Namun, melalui
komentar Brumment kita mendapatkan tiga gambaran mengenai asumsi teori
dramatisme Burke.
- Manusia
adalah hewan yang menggunakan simbol.
Burke berpendapat bahwa beberapa hal
yang kita lakukan dimotivasi oleh naluri hewan yang ada dalam diri kita dan
beberapa hal lainnya dimotivasi oleh simbol-simbol. Contohnya, ketika kita
meminum kopi di pagi hari sambil membaca koran. Minum kopi merupakan bentuk
naluri hewan dan membaca surat kabar serta memikirkan ide-ide dipengaruhi oleh
simbol. Dari semua simbol yang digunakan manusia, bahasa adalah yang paling
penting bagi Burke.
- Bahasa
dan simbol membentuk sebuah sistem yang sangat penting bagi manusia.
Bagi Burke, ketika orang menggunakan
bahasa, mereka juga digunakan oleh bahasa tersebut. Selain itu, ketika bahasa
dari suatu budaya tidak mempunyai simbol untuk motif tertentu, maka pembicara
yang menggunakan bahasa tersebut juga cenderung untuk tidak memiliki motif
tersebut. Burke mengatakan bahwa simbol membentuk pendekatan hanya terhadap
masalah yang kompleks. Selain itu, kata-kata, pemikiran, dan tindakan memiliki
hubungan yang saling berkaitan.
- Manusia
adalah pembuat pilihan.
Burke mengatakan ontologi eterministik
behaviorisme harus ditolak karena bertentangan dengan dasar utama dramatisme,
yakni pilihan manusia. Hal ini terikat pada konseptualisasi akan agensi atau
kemampuan aktor sosial untuk bertindak sebagai hasil dari pilihannya.
Dramatisme
sebagai Retorika Baru
Dalam bukunya A Rhetoric of
Motives, Burke menyatakan retorika adalah persuasi dan tulisannya
mengungkapkan cara-cara dimana persuasi dapat terjadi. Jadi retorika baru yang
ia tawarkan terfokus pada beberapa isu penting, yang salah satunya ialah identifikasi.
Berbeda dengan retorika lama yang persuasi dan menekankan pada desain yang
terencana.
- Identifikasi
dan substansi
Burke,
menyatakan bahwa segala sesuatu mempunyai substansi, yang ia definisikan
sebagai sifat umum dari sesuatu. Substansi dapat digambarkan dalam diri
seseorang dengan mendaftarkan karakteristik demografis serta latar belakang dan
fakta mengenai situasi masa kini.
Burke beragumen bahwa ketika
terdapat ketumpangtindihan antara dua orang dalam hal substansi mereka, mereka
mempunyai identifikasi. Semakin besar ketumpangtindihan yang terjadi, makin
besar identifikasi yang terjadi. Demikian sebalikannya, semakin kecil tingkat
ketumpangtindihan individu, makin besar pemisahan yang ada diantara mereka.
Walaupun demikian, pada kenyataannya
dua orang tidak dapat sepenuhnya memiliki ketumpangtindihan satu dengan yang
lainnya. Burke sadar akan hal ini dan menyatakan bahwa “ambiguitas substansi”
menyatakan bahwa identifikasi akan selalu terletak pada kesatuan dan pemisahan.
Para individu akan bersatu pada masalah-masalah substansi tertentu tetapi pada
saat bersamaan tetap unik, keduanya “disatukan dan dipisahkan”. Selanjutnya,
Burke mengindikasikan bahwa retorika dibutuhkan untuk menjembatani pemisahan
dan membangun kesatuan.
- Proses
Rasa Bersalah dan Penebusan
Konsubstansialitas, atau masalah
mengenai identifikasi dan substansi, berhubungan dengan siklus rasa bersalah
atau penebusan karena rasa bersalah dapat dihilangkan sebagai hasil
identifikasi dan pemisahan. Bagi Burke, proses rasa bersalah dan penebusan
mengamankan keseluruhan konsep simbolisasi. Rasa bersalah, adalah motif utama
untuk semua aktifitas simbolik, dan Burke mendefinisikan rasa bersalah secara
luas untuk mencakup berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa bersalah, jijik,
atau perasaan tidak menyenangkan lainnya. Hal yang utama dalam teori Burke
adalah bahwa rasa bersalah adalah sifat intrinsik yang ada dalam kondisi
manusia. Karena kita terus menerus, merasa bersalah, kita juga terus berusaha
untuk memurnikan diri kita sendiri dari ketidaknyamanan rasa bersalah.
Proses merasa bersalah dan berusaha
untuk menghilangkannya ada di dalam siklus Burke yang mengikuti pola yang dapat
diprediksi:
a.
Tatanan atau Hierarki
Burke
menyatakan bahwa masyarakat ada dalam bentuk tatanan atau hierarki, yang
diciptakan melalui kemampuan kita menggunakan bahasa. Bahasa memungkinkan kita
untuk menciptakan kategori-kategori yang membentuk hierarki sosial.
b.
Negativitas
Negativitas
mulai muncul ketika orang melihat tempat mereka dalam tatanan sosial dan
berusaha menolaknya. Mengatakan tidak pada aturan yang sudah ada adalah fungsi
dari kemampuan berbahasa kita dan bukti bahwa manusia adalah pembuat pilihan.
c.
Pengorbanan
Pengorbanan
adalah cara dimana kita berusaha untuk memurnikan diri dari rasa bersalah yang
kita rasakan sebagai bagian dari kondisi manusia. Terdapat dua tipe dasar
pengorbanan. Burke menamai tipe pengorbanan yang kita kembalikan pada diri kita
sendiri sebagai mortifikasi.
d.
Penebusan
Penebusan
melibatkan penolakan sesuatu yang tidak bersih dan kembali pada tatanan baru
setelah rasa bersalah diampuni sementara.
-
Pentad
Burke
menciptakan suatu metode untuk menerapkan teorinya terhadap sebuah pemahaman
aktifitas simbolik yang disebut pentad, meliputi:
- Tindakan, yang dianggap Burke sebagai apa yang
dilakukan oleh seseorang.
- Adegan, yang memberikan konteks yang meliputi tindakan.
- Agen, adalah seseorang yang melakukan tindakan.
- Agensi, merujuk pada cara-cara yang digunakan oleh agen
untuk menyelesaikan tindakan. Bentuk-bentuk agensi yang mungkin mencakup
strategi pesan, penceritaan kisah, permintaan maaf, pembuatan pidato, dan
seterusnya.
- Tujuan, merujuk pada hasil akhir yang ada dalam benak
agen untuk tindakan.
- Sikap, merujuk pada cara di mana seorang aktor
memposisikan dirinya dibandingkan orang lain.
Konsep Kunci Dramatisme
- Substansi, sifat umum seseorang sebagaimana digambarkan
oleh dirinya sendiri maupun orang lain.
- Identifikasi, keadaan di mana diantara dua orang
terdapat ketumpangtindihan pada substansi masing-masing.
- Konsubstansiasi, usaha meningkatkan ketumpangtindihan satu sama lain dengan membuat permohonan retoritis
2.3 TEORI PARADIGMA NARATIF
Banyak orang mendefinisikan naratif sebagai
suatu gaya bercerita. Naratif juga berasal dari kata narasi yaitu suatu cerita
tentang peristiwa atau kejadian dengan adanya paragraf narasi yang disusun
dengan merangkaikan peristiwa-peristiwa yang berurutan atau secara kronologis.
Tujuannya, pembaca diharapkan seolah-olah mengalami sendiri peristiwa yang
diceritakan.Cara yang dilakukan menggunakan kata- kata, juga dengan
memperlihatkan maksud cerita melalui tarian, gambar, maupun musik. Serta juga
dapat dibuat melalui TV / Film atau secara langsung dipertunjukkan lewat
panggung (stage).
Seperti yang diungkapkan Walter Fisher bahwa
cerita adalah rangkaian makna. Dengan naratif rangkaian cerita dapat bermakna
karena juga bisa dihubungkan perubahan yang terjadi dalam personal naratif
(pencerita dan yang mendapat cerita). Cerita – cerita dan personal dalam
naratif, keduanya berada dalam pengalaman itu sendiri. Apakah peristiwa itu
dikarang sendiri oleh hidup kita atau orang lain yang membantunya. Sampai kita
sering dan familiar dengan kalimat “Suatu waktu”.
Jangkauan
dari teori Naratif sendiri mencangkup macam – macam cabang ilmu pengetahuan dan
akhirnya terangkum dalam Teori Komunikasi. Hal ini juga meliputi bagaimana
pemahaman kita dalam menciptakan sebuah cerita dari pola – pola cerita yang
belum tergabung. Penggunaan naratif ini sendiri bertujuan untuk memahami
tingkah laku manusia. Pendekatan yang dilakukan yaitu melalui tiga kepentingan.
Walter Fisher menyebut yang pertama adalah Narative Logic yang menggabungkan
kesamaan naratif dan logika visual. Northrup Frye mencoba fokus pada bagaimana
cerita berbicara melalui konten / isi, bagaimana mengatakannya yaitu dilihat
dari bentuknya, serta memasukkan teori pemahaman perbedaan antara aturan
pembuatan makna antara maksud dari cerita bergambar dengan gambar itu sendiri.
Dengan
menggunakan kritikan sebagai alat untuk meletakkan dan menjelaskan gambar visual
sintaksis dan struktur komposisionalnya dalam hubungan yang renggang.
Seymour
Chatman’s mengatakan bahwa yang harus dilihat dalam teori naratif dalam pidato/
sebuah wacana adalah hubungan antara narrator dan naratee(reader) dan bagaimana
bentuk pengekspresiannya. Dan hal ini dikembangkan ke lingkup yang lebih luas,
yaitu dalam program TV, film, fotografi,dan website serta bagaimana bentuk
kebudayaan ikut menyumbang dalam pembentukan makna itu sendiri.
Paradigma naratif
Fisher
menyatakan bahwa esensi dari sifat dasar manusia adalah menceritakan kisah.
Sehingga paradigma naratif mengemukakan keyakinan bahwa manusia adalah seorang
pencerita dan bahwa pertimbangan akan nilai, emosi, dan estetika menjadi dasar
keyakinan dan perilaku kita. Core dari teori ini adalah
komunikasi kepada publik – khalayak sebagi partisipan.Manusia lebih mudah
terbujuk oleh sebuah cerita yang bagus daripada argument yang baik. Paradigm
naratif mengkonsepkan bahwa manusia adalah pencerita dan manusia mengalami
kehidupan dalam suatu bentuk narasi.
Fisher
juga menyatakan
bahwa paradigma ini merujuk pada usaha untuk
memformalisasi dan mengarahkan pemahaman kita mengenai pengalaman dari semua
komunikasi manusia. Yang ia bandingkan dengan pendekatan lain dengan apa yang
ia sebut sebagai paradigma rasional yang mengarakterisasi pemikiran Barat
sebelumnya. Dengan cara ini, Fisher mempresentasikan apa yang dapat disebut
sebagai pergeseran paradigma, perubahan signifikan dalam cara
kebanyakan orang melihat dunia dan maknanya.
Logika naratif lebih dipilih
dibandingkan logika tradisional yang digunakan dalam argumentasi. Logika narasi
(logika dari pemikiran yang luas), menyatakan bahwa orang menilai kredibilitas
pembicara melalui apakah ceritanya runtut (mempunyai koherensi) dan terdengar
benar (mempunyai ketepatan). Paradigm naratif memungkinkan sebuah penilaian
demokratis terhadap pembicara karena tidak ada seorang pun yang harus dilatih
secara khusus agar mampu menarik kesimpulan berdasarkan konsep koherensi dan
kebenaran.
Asumsi paradigma naratif
Asumsi
paradigma naratif yang dinyatakan oleh Fisher bertolak belakang dengan
paradigma dunia rasional. Hal ini menimbulkan perbedaan antara paradigma
naratif dengan paradigma dunia rasional.
PARADIGMA
NARATIF
|
PARADIGMA
DUNIA RASIONAL
|
1. Manusia adalah
makhluk pencerita.
|
1. Manusia
adalah makhluk rasional.
|
2. Pengambilan keputusan dan
komunikasi didasarkan pada “pertimbangan yang sehat”.
|
2.
Pengambilan keputusan didasarkan pada argumen.
|
3. Pertimbangan yang sehat
ditentukan oleh sejarah, biografi, budaya, dan karakter.
|
3. Argumen
mengikuti kriteria khusus untuk mencapai pertimbangan yang sehat, logika.
|
4. Rasionalitas didasarkan pada
kesadaran orang tentang bagaimana sebuah cerita konsisten secara internal dan
benar sebagaimana pengalaman hidup yang dijalani.
|
4.
Rasionalitas didasarkan pada kualitas pengetahuan dan proses pemikiran
formal.
|
5. Dunia dialami oleh orang
sebagai sebuah kumpulan cerita yang harus dipilih salah satunya. Ketika kita
memilih, kita menjalani hidup dalam sebuah proses penciptaan ulang yang
terus-menerus.
|
5. Dunia
dapat direduksi menjadi sebuah rangkaian hubungan logis yang disingkap
melalui pemikiran logis.
|
Penjelasan dari kelima
asumsi tersebut adalah:
a. Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencerita
Fischer (1987) mengatakan bahwa manusia merupakan homo narrans
sebagai metafora untuk menjelaskan kemanusiaan. Cerita merupakan hal mendasar
dalam hidup yang mempengaruhi, menggerakkan, dan membentuk dasar
keyakinan dan tindakan kita. Dalam berkomunikasi dengan dengan pihak
lain, manusia juga memposisikan dirinya sebagai pencerita tersebut. Fischer
memunculkan asumsi demikian karena berdasar pengamatannya naratif bersifat
universal, ditemukan dalam semua budaya dan periode waktu.
Dalam hal ini Elkins (dalam Turner, 2008) mengatakan bahwa manusia
pada dasarnya menggunakan cerita dalam semua aspek kehidupan keseharian kita,
untuk menghabiskan waktu, menyampaikan informasi, untuk menempatkan diri di
sebuah tempat, keluarga, dan komunitas.
b. Keputusan mengenai
harga dari sebuah cerita didasarkan pada “pertimvangan sehat”
Yang dimaksud pertimbangan yang sehat adalah individu membuat
keputusan mengenai cerita mana yang akan diterima dan mana yang ditolak
berdasarkan apa yang masuk akal bagi dirinya. Asumsi ini memberitahu kepada
kita bahwa tidak semua cerita itu sama atau sebanding dalam hal efektivitasnya,
sebaliknya faktor dalam pemilihan cerita di buat berdasarkan alasan-alasan yang
bersifat personal disbanding daripada berdasarkan pmikiran yang logis.
Semua orang mempunyai kapasitas untuk menjadi rasional dalam
paradigma narratif. Karena ukuran rasionalitas dalam paradigma narratif berbeda
dengan ukuran rasionalitas tradisional yang mendasarkan pada logika formal.
Setiap orang mengambil keputusan-keputusan hidup menganggap cara berfikirnya
logis dan rasional menurut ukuran personal orang bersangkutan.
c. Pertimbangan yang sehat
ditentukan oleh sejarah, biografi, budaya, dan karakter
Asumsi
ini memperjelas bahwa ukuran rasionalitas manusia itu tidak sama satu sama
lain. Masing-masing orang mempunyai ukuran dan jenis rasionalitasnya sendiri.
Munculnya rasionalitas tertentu pada seseorang tergantung konteks di mana
mereka terikat.
d. Rasionalitas didasarkan pada penilaian orang mengenai konsistensi dan kebenaran sebuah cerita.
Orang
akan mempercayai sebuah cerita selama cerita tersebut terlihat konsisten secara
internal dan dapat dipercaya. Yang perlu digarisbawahi di sini bahwa rasionalitas
yang dimaksud dalam paradigma narratif ini berbeda dengan rasionalitas
tradisional. Sebuah cerita dikatakan runtut ketika pencerita tidak meninggalkan
detail-detail yang penting atau mengkontradiksi elemen-eleman dalam cerita
dengan cara apapun.
e.
Kita mengalami dunia sebagai dunia yang diisi dengan cerita, dan kita harus
memilih dari cerita yang ada, dan ketika kita memilih cerita-cerita tersebut,
kita akan mengalami kehidupan secara berbeda, juga memungkinkan untuk
menciptakan ulang kehidupan kita.
Konsep kunci dalam pendekatan naratif
(1) Narasi
Sebuah deskripsi yang oleh pendengar
diberi makna. Narasi sering kali dianggap sebagai sekadar sebuah cerita, tetapi
bagi Fisher narasi lebih dari sekadar cerita yang memiliki plot dengan awal, pertengahan,
dan akhir. Narasi mencakup deskriptif verbal atau nonverbal apa pun dengan
urutan kejadian yang oleh para pendengar diberi makna. Hal ini tentunya Fisher menunjuk
bahwa Semua komunikasi adalah narrative (cerita). Dia beragumen bahwa narrative
bukanlah gender tertentu tetapi lebih kepada cara dari pengaruh sosial.
(2) Rasionalitas
Naratif
Standar untuk
menilai cerita mana yang dipercayai dan mana yang diabaikan. Karena kehidupan
kita dialami dalam naratif, kita membutuhkan metode untuk menilai cerita mana
yang kita percayai dan mana yang tidak kita perhatikan. Karena rasionalitas
naratif berlawanan dengan logika tradisional, maka beroperasi berdasarkan dua
prinsip yang berbeda:
i. Koherensi
Prinsip
rasionalitas naratif yang menilai konsistensi internal dari sebuah cerita.
Prinsip koherensi merupakan standar yang penting dalam menilai rasionalitas
naratif, yang pada akhirnya akan menentukan apakah seseorang menerima naratif
tertentu atau menolaknya. Koherensi sering kali diukur oleh elemen-elemen
organisasional dan struktural dari sebuah naratif. Sehingga koherensi
didasarkan pada tiga tipe konsistensi yang spesifik:
(a) Koherensi Struktural, suatu jenis koherensi yang merujuk
pada aliran cerita. Ketika cerita membingungkan, ketika satu bagian tidak
tersambung dengan bagian berikutnya, atau ketika alurnya tidak jelas, maka
cerita itu kekurangan koherensi struktural.
(b) Koherensi
Material, jenis koherensi yang merujuk pada kongruensi antara satu cerita
dan cerita lainnya yang berkaitan. Jika semua cerita kecuali satu menyatakan
masalah bahwa seorang teman telah memberikan informasi yang keliru sehingga
menimbulkan situasi yang memalukan bagi yang seorang lagi, Anda cenderung tidak
akan memercayai satu cerita yang berbeda sendiri tersebut. Anda akan percaya
bahwa cerita yang berbeda ini kekurangan koherensi material.
(c) Koherensi
Karakterologis, jenis koherensi yang merujuk pada dapat dipercayanya
karakter-karakter di dalam cerita.
ii. Kebenaran
Prinsip
rasionalitas naratif yang menilai kredibilitas dari sebuah cerita. Fisher
menyatakan bahwa ketika elemen-elemen sebuah cerita “merepresentasikan
pernyataan-pernyataan akurat mengenai realitas sosial”, elemen tersebut
memiliki kebenaran.
Logika dari
good reason berhubungan
dengan ide Fisher akan ketepatan adalah metode utama yang ia kemukakan untuk
menilai ketepatan naratif: logika pertimbangan yang sehat. Karena itu, logika
bagi paradigma naratif membuat seseorang mampu menilai harga atau nilai dari
cerita. Logika dari pertimbangan yang
sehat, seperangkat nilai untuk menerima suatu cerita sebagai benar dan
berharga untuk diterima; memberikan suatu metode untuk menilai kebenaran.
Seperti yang
diprediksikan oleh paradigma naratif, logika bagi paradigma naratif membuat
seseorang mampu menilai harga atau nilai dari cerita. Cerita yang dikisahkan
dengan baik- terdiri atas rasionalitas naratif (memenuhi kriteria koherensi dan
kebenaran)- akan lebih menggugah bagi pembaca dibandingkan dengan kesaksian
dari para ahli yang menyangkal akurasi faktual di dalam naratif itu.
West, Richard. 2008. Pengantar Teori Komunikasi – Teori dan
Aplikasi.
Jakarta: Salemba Humanika.
Rohim, Syaiful.2009. Teori
Komunikasi – Perspektif, Ragam, dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.
http://spiritofdina.blogspot.com/2010/06/nama-hikmah-hamidah-nim-108015000034.html
http://evamasy.blogspot.com/2011/05/makalah-teori-dramatisme-diajukan-untuk.html
Soeroso,
Andreas. 2006. Sosiologi 1 SMA kelas X. Jakarta: Quadra
Pawito, 2007.Penelitian
Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta : Lkis
Daymon, Christine &
Immi Holloway. 2008. Metode-Metode Riset Kualitatif.
Yogyakarta: Bentang
Pustaka
http://www.scribd.com/doc/65393054/TEORI-NARATIF