Senin, Februari 5

KACA

Aku mencoba meraih pundaknya, terlihat dekat tapi tidak bisa ku gapai. Perempuan itu menangis, sepertinya. Pundaknya naik turun sejak tadi. Tidak mungkin sesak nafas, karena roknya terlihat basah.

Aku bertanya, “Ada apa denganmu?”

Dia menjawab, “Ada apa denganmu?”.

Aku terdiam. Mungkin memang Dia tidak ingin diganggu.


Sesaat kemudian, Dia menoleh ke arahku. Matanya sembab. Aku mulai yakin tebakanku benar.

“Kenapa kita bisa berbeda?”, tanyanya.

Aku menjawab lebih kepada diri sendiri, "Karena kita memang berbeda".

Ku lihat Perempuan itu mulai berhenti menangis. Matanya justru semakin memerah, barang kali sedihnya sudah berubah menjadi amarah. Aku melanjutkan dengan nada getir, “Aku rasa tidak ada yang salah dengan menjadi berbeda. Yang salah adalah memaksakan untuk menjadi yang sama”.

“Aku tidak ingin berbeda. Berbeda menjauhkan dengan banyak hal, banyak orang”, lanjutnya.

Aku menghela nafas berat. Perempuan ini benar-benar butuh bantuan.

Aku mencoba menenangkannya, “Tinggalkan cerita lamamu. Mulailah dengan cerita baru, sampai kau tahu berbeda itu memang anugerah bukan masalah”.

Air matanya kembali turun, kali ini lebih deras. Pipi ku ikut basah, aku tidak tega.

Dengan nada serak dia bertanya, “Itu artinya aku perlu mencari orang-orang baru untuk cerita baruku?”

Ayo ke paragraf baru. Biar ku jawab, “Perlu, dan tidak perlu. Orang-orang yang baik untuk hidupmu akan tetap ada disitu. Jika ada yang pergi, pahami kalau itu hanya karena dua hal, kematian dan kenyataan bahwa orang itu tidak baik untuk kehidupanmu. Kepergiaan mereka akan mendatangkan tokoh baru tanpa kau harus berusaha mencarinya”.

Giliran aku yang bertanya pada Dia, “Kenapa kau terlihat sangat sedih siang ini?”.

Dia terdiam sesaat, kemudian tersenyum getir, “Aku merasa tidak layak, untuk seseorang. Aku, kita berbeda, dalam banyak hal”

Pintu kamar berderik perlahan hingga terbuka sepenuhnya. Seorang Ibu paruh baya berjalan mendekati Perempuan yang sedang aku ajak berbicara, lalu berbisik pelan, “Kenapa berdiri sendiri didepan kaca begitu, Kak? Apa kau habis menangis?”

Aku dan Perempuan itu menjawab Ibu dengan airmata yang mengalir semakin deras, "Peluk aku, Ibu"

———————— KACA, 2018